ilustrasi: www.iclipart.com |
Dalam petikan kisah Nabi Musa dan Nabi Khidr di atas, belakangan Nabi Musa pun tahu alasan Al Khidr melubangi perahu yang mereka tumpangi meski perahu itu milik nelayan miskin. Rupanya di daerah itu ada seorang penguasa yang gemar merampas perahu rakyatnya. Namun, jika perahu itu dirusak--dalam hal itu dilubangi--maka akan dianggap cacat dan sang penguasa enggan merampasnya. Sang nelayan miskin pun dapat tetap memiliki perahu untuk mencari nafkah lantaran kerusakan perahu itu sejatinya tidak parah dan masih dapat diperbaiki. Dengan kata lain, hal yang semula tampak meyusahkan ternyata justru memberi dampak baik.
Kekhawatiran Nabi Musa terhadap tindakan Al Khidr itu bisa jadi potret sikap kita sehari-hari ketika menghadapi cobaan yang tak dapat kita pahami. Namun, sebagai orang biasa kita seringkali tak hanya mempertanyakan, namun juga menangisi dan bahkan menyerah pada kesulitan yang kita jumpai dalam hidup. Pertanyaan-pertanyaan mendasar pun terlontar dalam benak kita "Mengapa hal ini harus terjadi?" atau "Mengapa harus saya yang mengalami?" dan sebagainya. Namun, kita jarang sekali benar-benar mencerna pertanyaan itu. Padahal jika kita benar-benar memikirkan, seringkali kita menemukan hikmah yang indah dibalik tiap kesulitan layaknya hikmah dari kisah di atas.
Kadang kita juga cepat sekali memahami hikmah dibalik suatu kejadian, tetapi ketika suatu cobaan tak kunjung berakhir kita sulit memahaminya. Ketika hal itu terjadi barangkali kita harus lebih gigih memegang kunci pembuka hikmah. Seperti yang dikatakan Nabi Khidr, kunci mendapatkan hikmah itu adalah bersabar. Dengan bersabar insyaAllah semua yang semula tampak sempit, menyesakkan dan memberatkan hati menjadi tampak lapang, melegakan dan menyenangkan. Memang praktiknya tak semudah mengatakan. Namun, Allah berjanji bahwa di balik tiap kesulitan pasti ada kemudahan, dan janji Allah pasti benar.
Contoh kecil, beberapa bulan lalu saya pernah ditugaskan menulis suatu artikel tentang penelitian terbaru salah satu jenis buah. Pada detik-detik akhir menjelang deadline saya baru berhasil menghubungi sang peneliti. Saya pun segera membuat janji wawancara dengan sang peneliti dan ia menyanggupi. Pada hari yang telah disepakati, saya berangkat ke kantor peneliti itu. Jaraknya sekitar 3 jam perjalanan dari tempat saya bekerja. Di tengah perjalanan, saya berinisiatif mengirim pesan singkat pada sang peneliti untuk mengabarkan bahwa sekitar 1 jam lagi saya sampai lokasi. Hal itu biasa saya lakukan saat ada janji temu agar orang yang akan saya temui tak menunggu tanpa kepastian.
Beberapa saat kemudian pesan balasan pun masuk ke telepon genggam saya. Deg, jantung saya seketika berdegup kencang saat membacanya. Ternyata sang peneliti lupa dengan janjinya dan ia tengah berada di luar kota. Kepanikan sesaat pun melanda. Harap maklum, deadline sudah di depan mata dan bahan belum saya dapat. Lebih 'buruk' lagi ternyata sang narasumber tidak di tempat. Meski panik, saya berusaha tenang karena panik tak akan menyelesaikan masalah. Saya meminta sopir untuk tetap melaju ke tempat tujuan kami sambil memikirkan jalan keluar permasalahan itu.
Akhirnya saya kembali mengirim pesan pada sang peneliti--sebut saja peneliti A--untuk memberi referensi jika ada rekan atau anak buahnya yang dapat dimintai informasi tentang penelitiannya. Sayang, tidak ada peneliti lain yang terlibat dan ada di kantor ketika itu. Namun, peneliti A memberikan referensi peneliti lain--peneliti B--dengan subyek penelitian berbeda. Saya pikir daripada pulang dengan tangan hampa, lebih baik saya temui dulu peneliti yang direferensikan. Toh meski lain subyek, penelitiannya mirip. Sehingga, hasil wawancara nanti setidaknya dapat saya pakai untuk tambahan data, sementara data utama bisa saya dapatkan dari peneliti A via telepon.
Akhirnya saya menghubungi peneliti B dan alhamdulillah sang peneliti sedang berada di kantor. Yang lebih menakjubkan, setelah wawancara itu saya baru tahu bahwa riset peneliti A rupanya di luar subyek yang harus saya tulis. Sebaliknya, riset peneliti B justru sesuai dengan tema artikel saya. Ketika itulah saya sadar bahwa hal yang semula tampak seperti kemalangan ternyata justru pertolongan dari Yang Maha Pengasih.
Seandainya peneliti A tidak uzur, mungkin saya akan berangkat dengan hati riang. Namun, bagaimana setelah saya mewawancarainya dan tahu risetnya tidak relevan dengan artikel yang akan saya tulis? Saya tidak dapat membayangkan bagaimana paniknya saya ketika hal itu terjadi. Pertama saya tidak tahu apa yang harus saya katakan kepada sang peneliti bahwa waktu yang telah ia luangkan dan informasi yang ia berikan ternyata tidak saya pakai. Kedua, nyaris sudah tidak ada waktu lagi untuk melakukan wawancara dengan peneliti lain. Terlebih jika harus mencari dulu calon narasumber pengganti.
Karena itu saya benar-benar merasakan bahwa di balik kesulitan yang saya jumpai di pagi hari itu ternyata ada kemudahan dan hikmah yang begitu besar. Tentu masih banyak contoh lain dan banyak pula di antara kita yang pernah mengalami kisah yang jauh lebih mengharukan. Semoga kita dapat belajar dari pengalaman-pengalaman itu agar bisa menjadi manusia yang bersabar dan mendapat hikmah dari setiap cobaan.
1. UGAMA=UGM?
Mengidentikkan UGAMA sebagai UGM adalah “senjata” andalan Lembaga Pendidikan UGAMA agar keberadaannya bisa diterima di mana-mana. Anggapan sebagian masyarakat bahwa UGAMA adalah akronim dari Universitas Gadjah Mada (UGM di Yogyakarta) dimanfaatkan sebagai alat untuk mempermudah aktifitasnya. Kepala sekolah mana sanggup untuk menolak kehadiran Universitas Gadjah Mada untuk memberikan motivasi kepada anak didiknya, padahal ini adalah satu cara agar UGAMA bisa promosi ke siswa secara mudah. Bahkan, saat tim UGAMA meminta ijin presentasi ke sekolah, hampir selalu menyebut sebagai “alumni UGM”, di kop surat tertulis “UGAMA KELUARGA ALUMNI UNIVERSITAS GADJAH MADA” dan yang akan datang memberikan presentasi motivasi adalah tim dari Universitas Gadjah Mada
Saat presentasi motivasi di sekolah-sekolah, presentator selalu dikenalkan atau memperkenalkan diri sebagai alumni Universitas Gadjah Mada. Ini adalah bentuk pembohongan terkoordinasi untuk mengangkat wibawa presentator dengan memanfaatkan nama besar UGM.
Tidak bisa dipungkiri bahwa ada unsur motivasi ke siswa saat kegiatan presentasi di sekolah. Namun, tujuan utama presentasi tersebut adalah promosi. Siswa diberikan cara-cara praktis mengerjakan soal, satu soal satu menit, kemudian pada akhirnya diarahkan untuk menerima promosi baik berupa kesempatan mengikuti bimbingan belajar gratis maupun membeli produk berupa buku-buku kumpulan pengerjaan soal dengan rumus praktis.
Di wilayah di mana UGAMA memiliki tempat untuk melaksanakan bimbingan belajar, siswa diarahkan untuk mengikuti bimbingan belajar gratis, kemudian saat bimbingan belajar gratis tersebut ditawarkan program yang berbayar. Ini adalah salah satu trik untuk menyikapi agar tidak ada transaksi masalah uang di sekolah. Uniknya, bimbingan belajar yang dilaksanakan berbeda dari kebanyakan bimbingan belajar lainnya, yaitu hanya bimbingan belajar pendek selama 4 sampai 16 kali pertemuan dengan biaya sekitar 300.000 atau lebih termasuk modul belajar yang berisi rumus praktis.
Saat presentasi di sekolah (dan juga saat bimbingan belajar gratis), siswa dikenalkan dengan cara-cara praktis logika untuk menyiasati soal, satu soal satu menit. Cara ini sebenarnya memang lazim digunakan oleh lembaga bimbingan belajar untuk menarik calon siswa. Siswa akan terkesima dengan cara pengerjaan soal yang cepat dan menarik, sehingga termotivasi untuk mempelajari lebih jauh cara-cara praktis dalam menyiasati soal, baik dengan mengikuti bimbingan belajar UGAMA maupun dengan membeli buku rumus praktis.
1. Saat tim UGAMA datang ke sekolah dan menyebut sebagai alumni UGM, tanyakan Kartu Anggota KAGAMA (Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada). Atau jika perlu, tanyakan nama rektor, dekan, lokasi UGM, fakultas-fakultas, atau apapun yang berkaitan dengan UGM. Alumni UGM sesungguhnya akan dengan mudah menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut (tim dari UGAMA yang bukan alumni UGM akan kebingungan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Bahkan lucunya, di antara mereka ada yang belum pernah masuk kampus UGM sama sekali, lokasinya saja tidak tahu)
2. Tanyakan tujuan pasti dari kegiatan presentasi di sekolah. Jika kegiatan tersebut tanpa biaya (gratis), donatur mana yang membiayai kegiatan tersebut dan apa tujuan donatur sehingga sanggup membiayai kegiatan tersebut.
3. Sebelum, saat dan setelah presentasi berlangsung, guru bidang studi Matematika bisa mengajak pemberi presentasi untuk berdiskusi panjang lebar materi Matematika. Jika perlu, guru Matematika bisa bertanya materi lain di luar materi presentasi. Sementara, guru Bahasa Inggris bisa mengajak “ngobrol” menggunakan Bahasa Inggris. Presentator dari UGAMA dijamin tidak akan menguasai, karena mereka hanya menguasai materi presentasi dan tidak lebih dari itu.
4. Sebelum pelaksanaan presentasi, pihak sekolah bisa meminta terlebih dahulu soal-soal yang akan disampaikan saat presentasi, kemudian pastikan apakah soal-soal tersebut sesuai dengan acuan kurikulum yang berlaku saat ini.
5. Jika memang tujuan utama untuk menjual buku, pihak sekolah bisa meminjam contoh buku terlebih dahulu secara lengkap (SMA/MA: Matematika, Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, Kemampuan IPA/IPS. SMK: Matematika, Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia. SMP: Matematika, Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, IPA/Sains) dan meminta waktu untuk dipelajari selama 1 atau 2 hari. Pastikan apakah isi buku sesuai dengan kurikulum yang berlaku. Pihak UGAMA biasanya akan menolak untuk menyerahkan contoh buku, karena khawatir pihak sekolah sudah tahu bahwa buku tidak berkualitas, sehingga omzet penjualan buku tidak seperti yang diharapkan.
6. Untuk memastikan tidak terjadi transaksi jual-beli buku di sekolah, pihak sekolah menunggu saat pelaksanaan presentasi hingga selesai. Jika perlu, semua guru yang mengajar pada jam tersebut diharuskan mengikuti kegiatan presentasi. Rata-rata mental presentator akan down jika ada guru yang mengikuti presentasi (karena mereka –maaf– hanya lulusan SMA/SMK/MA yang tidak menguasai materi presentasi sesungguhnya, hanya membeo)
7. Jika ingin mempelajari isi bukunya, sekolah bisa membeli cukup 1 paket buku saja, kemudian dipinjamkan ke siswa melalui perpustakaan dan jika siswa menginginkan bisa difotocopy. Pihak UGAMA biasanya tidak akan menerima cara-cara seperti itu (karena tujuan mereka untuk meningkatkan omzet penjualan buku), tetapi kami pastikan tidak ada undang-undang yang melindungi buku tersebut untuk digandakan dengan cara apapun.
Demikian fakta-fakta ini kami ungkapkan. Percaya atau tidaknya Bapak/Ibu terhadap informasi dan fakta tersebut, bukan menjadi tujuan kami. Tujuan kami semata-mata agar tidak terjadi pembodohan terhadap pelajar di Indonesia, yang notabene merupakan generasi terbaik bangsa, calon pemimpin yang akan menentukan baik dan buruknya negera Indonesia yang kita cintai.
-Komunitas Eks Karyawan dan Pengajar UGAMA-