Kamis, 29 November 2012

Super Trap Episode Toilet umum: Tidak Sopan atau Biadab?

istockphoto.com
Syok! Itulah reaksi pertama saya saat membaca salah satu berita yang sedang hangat saat ini. Temanya tentang jebakan sadis ala super trap Trans TV episode toilet umum.

Saya memang sudah lama enggan menonton televisi mengingat kebanyakan acara TV jaman sekarang cenderung menjemukan (menurut pandangan saya). Selain itu, alih-alih mendidik pemirsa, acara-acara tersebut seringkali justru terkesan membodohi masyarakat. Karenanya, saya baru mengetahui tentang tayangan tersebut saat salah seorang rekan membahasnya di akun jejaring sosial.

 Karena penasaran, seketika itu pula saya membuka link berita yang ia pampang di 'dinding'nya dan terbengong-bengong saat membaca berita tersebut. Sebenarnya saya pernah satu atau dua kali menyaksikan tayangan yang (menurut beberapa orang) menjiplak tayangan salah satu TV di Jepang itu. Namun, hanya dengan melihat beberapa episode saja saya sudah muak.

Terbayang di benak saya jika salah satu korbannya mengidap penyakit jantung, sedang memiliki urusan mendesak, dan sebagainya. Kejahilan semacam super trap itu jelas dapat mencelakakan orang lain. Namun, rupanya kru tayangan ini tidak puas hanya dengan risiko tersebut. Walhasil, super trap yang kabarnya tayang Minggu, 25/11 silam menampilkan babak baru. Melecehkan dan mempermalukan orang di depan umum!

Tayangan tersebut dikatakan menampilkan jebakan berupa kamera yang dipasang di toilet umum (hasil rekayasa kru). Yup, kamera di toilet!!! Toilet tersebut bahkan sudah direkayasa sedemikian rupa sehingga semua sisi dindingnya bisa diangkat dengan hidrolik hingga melewati atap.

Sudah sewajarnya jika korban--pria dan wanita--yang sedang 'membuang hajat' di tempat itu menjadi panik bukan kepalang saat dinding terangkat. Ada yang buru-buru membenahi celananya sebelum membersihkan diri, bahkan ada yang belum sempat memakai celana hingga auratnya terekspos di hadapan banyak orang.

Di TV, aurat yang nampak memang disensor dengan emoticon. Namun, tak ayal tayangan ini menuai kecaman dari masyarakat. Tak kurang dari 1.000 surat protes pun dilayangkan ke Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Terlebih, kru super trap tampak cengengesan saat merasa jebakan yang mereka buat 'berhasil'.

Menanggapi kecaman tersebut rupanya KPI hanya mewajibkan pihak Trans TV untuk minta maaf karena telah melanggar norma kesopanan. Dan itulah yang kemudian mereka lakukan. Artinya, perkara pelecehan semacam ini rupanya dianggap KECIL di negeri ini. Cukup meminta maaf dan perkara selesai.

Bagi saya, seseorang yang menyerobot antrian di toilet itu baru bisa dikatakan tidak sopan. Kalau seseorang memasang kamera di toilet umum itu sudah masuk kategori KRIMINAL. Sementara orang (atau dalam hal ini kelompok orang) yang memasang kamera di toilet umum dan mengekspos aurat orang di hadapan seluruh negeri untuk dijadikan bahan tertawaan itu disebut BIADAB!

Uniknya, belakangan mereka mengklaim bahwa adegan tersebut hanya rekayasa, karena 'korban' sejatinya hanya pemeran bayaran. Untuk kategori semacam ini, Rasulullah SAW pernah bersabda, yang artinya:
"Celakalah orang yang berbohong agar orang lain tertawa, celakalah dia, celakalah dia.” (HR. Abu Dawud no. 4990, Tirmidzi no. 2315, Darimi no. 2705, Ahmad 5/7. Dihasankan oleh al-Albani dalam al-Misykah no. 4834)



Senin, 20 Februari 2012

Dibalik Kesulitan, Ada Kemudahan

ilustrasi: www.iclipart.com
"Apakah kamu berniat melubangi perahu ini untuk menenggelamkan penumpangnya? Sesungguhnya kamu telah melakukan kesalahan besar," ujar Nabi Musa a.s kepada Al Khidr. Nabi Khidr pun menjawab, "Bukankah aku telah berkata bahwa kamu tidak akan bersabar bersamaku?"

Dalam petikan kisah Nabi Musa dan Nabi Khidr di atas, belakangan Nabi Musa pun tahu alasan Al Khidr melubangi perahu yang mereka tumpangi meski perahu itu milik nelayan miskin. Rupanya di daerah itu ada seorang penguasa yang gemar merampas perahu rakyatnya. Namun, jika perahu itu dirusak--dalam hal itu dilubangi--maka akan dianggap cacat dan sang penguasa enggan merampasnya. Sang nelayan miskin pun dapat tetap memiliki perahu untuk mencari nafkah lantaran kerusakan perahu itu sejatinya tidak parah dan masih dapat diperbaiki. Dengan kata lain, hal yang semula tampak meyusahkan ternyata justru memberi dampak baik.

Kekhawatiran Nabi Musa terhadap tindakan Al Khidr itu bisa jadi potret sikap kita sehari-hari ketika menghadapi cobaan yang tak dapat kita pahami. Namun, sebagai orang biasa kita seringkali tak hanya mempertanyakan, namun juga menangisi dan bahkan menyerah pada kesulitan yang kita jumpai dalam hidup. Pertanyaan-pertanyaan mendasar pun terlontar dalam benak kita "Mengapa hal ini harus terjadi?" atau "Mengapa harus saya yang mengalami?" dan sebagainya. Namun, kita jarang sekali benar-benar mencerna pertanyaan itu. Padahal jika kita benar-benar memikirkan, seringkali  kita menemukan hikmah yang indah dibalik tiap kesulitan layaknya hikmah dari kisah di atas.

Kadang kita juga cepat sekali memahami hikmah dibalik suatu kejadian, tetapi ketika suatu cobaan tak kunjung berakhir kita sulit memahaminya. Ketika hal itu terjadi barangkali kita harus lebih gigih memegang kunci pembuka hikmah. Seperti yang dikatakan Nabi Khidr, kunci mendapatkan hikmah itu adalah bersabar. Dengan bersabar insyaAllah semua yang semula tampak sempit, menyesakkan dan memberatkan hati menjadi tampak lapang, melegakan dan menyenangkan. Memang praktiknya tak semudah mengatakan. Namun, Allah berjanji bahwa di balik tiap kesulitan pasti ada kemudahan, dan janji Allah pasti benar.

Contoh kecil, beberapa bulan lalu saya pernah ditugaskan menulis suatu artikel tentang penelitian terbaru salah satu jenis buah. Pada detik-detik akhir menjelang deadline saya baru berhasil menghubungi sang peneliti. Saya pun segera membuat janji wawancara dengan sang peneliti dan ia menyanggupi. Pada hari yang telah disepakati, saya berangkat ke kantor peneliti itu. Jaraknya sekitar 3 jam perjalanan dari tempat saya bekerja. Di tengah perjalanan, saya berinisiatif mengirim pesan singkat pada sang peneliti untuk mengabarkan bahwa sekitar 1 jam lagi saya sampai lokasi. Hal itu biasa saya lakukan saat ada janji temu agar orang yang akan saya temui tak menunggu tanpa kepastian.

Beberapa saat kemudian pesan balasan pun masuk ke telepon genggam saya. Deg, jantung saya seketika berdegup kencang saat membacanya. Ternyata sang peneliti lupa dengan janjinya dan ia tengah berada di luar kota. Kepanikan sesaat pun melanda. Harap maklum, deadline sudah di depan mata dan bahan belum saya dapat. Lebih 'buruk' lagi ternyata sang narasumber tidak di tempat. Meski panik, saya berusaha tenang karena panik tak akan menyelesaikan masalah. Saya meminta sopir untuk tetap melaju ke tempat tujuan kami sambil memikirkan jalan keluar permasalahan itu.

Akhirnya saya kembali mengirim pesan pada sang peneliti--sebut saja peneliti A--untuk memberi referensi jika ada rekan atau anak buahnya yang dapat dimintai informasi tentang penelitiannya. Sayang, tidak ada peneliti lain yang terlibat dan ada di kantor ketika itu. Namun, peneliti A memberikan referensi peneliti lain--peneliti B--dengan subyek penelitian berbeda. Saya pikir daripada pulang dengan tangan hampa, lebih baik saya temui dulu peneliti yang direferensikan. Toh meski lain subyek, penelitiannya mirip. Sehingga, hasil wawancara nanti setidaknya dapat saya pakai untuk tambahan data, sementara data utama bisa saya dapatkan dari peneliti A via telepon.

Akhirnya saya menghubungi peneliti B dan alhamdulillah sang peneliti sedang berada di kantor. Yang lebih menakjubkan, setelah wawancara itu saya baru tahu bahwa riset peneliti A rupanya di luar subyek yang harus saya tulis. Sebaliknya, riset peneliti B justru sesuai dengan tema artikel saya. Ketika itulah saya sadar bahwa hal yang semula tampak seperti kemalangan ternyata justru pertolongan dari Yang Maha Pengasih.

Seandainya peneliti A tidak uzur, mungkin saya akan berangkat dengan hati riang. Namun, bagaimana setelah saya mewawancarainya dan tahu risetnya tidak relevan dengan artikel yang akan saya tulis? Saya tidak dapat membayangkan bagaimana paniknya saya ketika hal itu terjadi. Pertama saya tidak tahu apa yang harus saya katakan kepada sang peneliti bahwa waktu yang telah ia luangkan dan informasi yang ia berikan ternyata tidak saya pakai. Kedua, nyaris sudah tidak ada waktu lagi untuk melakukan wawancara dengan peneliti lain. Terlebih jika harus mencari dulu calon narasumber pengganti.

Karena itu saya benar-benar merasakan bahwa di balik kesulitan yang saya jumpai di pagi hari itu ternyata ada kemudahan dan hikmah yang begitu besar. Tentu masih banyak contoh lain dan banyak pula di antara kita yang pernah mengalami kisah yang jauh lebih mengharukan. Semoga kita dapat belajar dari pengalaman-pengalaman itu agar bisa menjadi manusia yang bersabar dan mendapat hikmah dari setiap cobaan.

Kamis, 16 Februari 2012

Ketika Surel, bukan Jejaring Sosial, Rajai Dunia Maya

ilustrasi: www.123rf.com
      Minggu lalu saya menyempatkan diri membersihkan kotak masuk surel alias mailbox saya. Sejak pertama membuat akun 12 tahun silam, saya belum pernah membersihkan total surel saya dari nawala (newsletter) maupun milis yang jumlahnya mencapai ribuan. Saya sudah berulangkali menghapus sebagian besar surat sampah atau junkmail dan sebagian nawala. Namun, ada beberapa yang saya biarkan di kotak masuk. Nah, dari kumpulan beberapa yang saya biarkan itu kini menumpuk menjadi ribuan.
      Walhasil setelah 6 jam mengelompokkan nawala ke berbagai pelipat atau folder, saya baru sadar bahwa dari nyaris 10,000 surat yang ada di kotak masuk hanya 11% yang berasal dari manusia (baca: teman, saudara maupun kolega), sisanya dikirim oleh robot. Ketika saya iseng membuka beberapa surel lama, saya pun mulai merindukan masa-masa kejayaan surel. Yang menyedihkan, rupanya sudah bertahun-tahun saya tak berkirim surel yang tidak terkait dengan pekerjaan, kepada teman maupun saudara. Jejaring sosial dan telepon genggam kini sudah menggantikan peran surel sebagai komunikator, meski sayangnya ada beberapa kekurangan yang dimiliki kedua media penghubung itu dibanding surel.
      Saat masa jayanya, tak jarang 1 orang memiliki lebih dari 2 alamat surel. Saya, misalnya, pernah memiliki akun surel di yahoo, lovemail, hotmail hingga usa.net dalam kurun waktu bersamaan. Sama seperti generasi sekarang memiliki banyak akun di berbagai jejaring sosial. Namun, berbeda dengan jejaring sosial yang dapat menampilkan status kita setiap waktu, surel--nyaris seperti surat yang dikirim lewat pos--cenderung dikirim berjangka meski tak teratur. Paling cepat sehari sekali orang berkirim surel dengan orang yang sama (kecuali jika si penerima surel kebetulan juga sedang online).
      Akibatnya, kata-kata yang diunggah dalam status jejaring sosial seringkali tidak dipikirkan matang-matang dan cenderung ego sentris.  Di jejaring sosial, kita sering membaca status yang tidak ingin atau tidak perlu kita ketahui dari orang lain. Sebagai contoh seorang teman di jejaring sosial mengunggah status "merindukannya...". Namun, kita tidak kenal dekat dengan si teman pengunggah status, lebih-lebih dengan si 'nya' yang ia maksud. Sehingga melihat sepintas atau bahkan membaca status seperti itu tak memberi masukan positif apapun dalam hidup kita. Bisa jadi kalau disejajarkan dengan surel, status semacam itu ibarat surat sampah yang masuk ke inbox. Bedanya, junkmail hampir pasti dikirim oleh orang yang sama sekali tidak kita kenal.
      Berbeda dengan jejaring sosial, isi surel cenderung lebih padat berisi. Bisa dengan bahasa serius maupun ringan, bisa konyol maupun informatif, bisa pula sangat panjang atau sangat singkat. Namun, jarang sekali bersifat ego sentris. Sebuah surel lebih sering berisi dan diawali kata-kata seperti ini, "apa kabar?", "sedang sibuk apa sekarang?", atau "aku pengen curhat nih sama kamu, boleh kan?". Bahkan ketika sedang ingin menumpahkan perasaannya ketika si penerima surel tidak menanyakan atau meminta, si pengirim merasa perlu menambahkan kata-kata semisal "boleh kan" sebagai afirmasi bahwa si penerima tidak akan keberatan dengan hal itu. Sehingga, kesan ego sentris pun hilang.
      Surel pun jarang kita baca saat sedang berkumpul dengan teman, di perjalanan, atau sedang ada pertemuan. Sebaliknya, kita tak mengenal waktu dan tempat dalam mengunggah dan mengomentari status di jejaring sosial. Sering kita jumpai di masa sekarang, sekelompok orang yang saling berteman dan duduk di satu meja tetapi saling sibuk sendiri dengan telepon genggam dan akun jejaring sosialnya. Tidakkah ironis ketika jejaring sosial justru membuat kita antisosial?
      Hal yang juga tidak saya dapatkan di jejaring sosial adalah kerinduan dengan teman yang sudah ada di lingkaran jejaring kita. Beberapa tahun silam, sebagian besar kenalan baru saya merupakan hasil chatting di dunia maya. Meski hanya ngobrol sekali atau dua di situs obrolan gratis, namun pertemanan pun berlanjut dengan berkirim sapa lewat surel. Dengan surel saya memang tidak tahu kondisi mereka setiap saat seperti jika menggunakan jejaring sosial, tapi saya tahu saat-saat penting bagi mereka. Selain itu, lantaran surel tidak dikirim setiap saat, saya juga cenderung merasa rindu ketika mereka tidak berkirim surat dan bahagia saat mendapat surat dari mereka.

Kerja Kok Bayar (Pengalaman Pahit Mencari Kerja)

ilustrasi: http://ulife.vpul.upenn.edu
      Kejadian ini saya alami sekitar 6 tahun silam tepatnya pada 2006. Namun, kenangan pahit itu tiba-tiba muncul kembali ketika saya menemukan artikel sejenis di beberapa blog baru-baru ini. Yang membuat saya gemas, ternyata banyak orang mengalami kasus serupa dengan perusahaan atau lembaga yang sama. Namun yang mengherankan, lembaga itu masih terus beroperasi hingga sekarang bahkan terus melebarkan sayapnya ke berbagai daerah di Indonesia.
      Anyway, kejadiannya bermula ketika saya sudah setahun menganggur setelah lulus kuliah. Ketika itu saya tidak ingin mencari pekerjaan di luar 'kampung halaman'. Saya tidak bercita-cita hidup di kota besar, sehingga memilih mencari lowongan di sekitar kabupaten tempat saya tinggal di Jawa Tengah. Sayangnya, di kota kecil seperti itu pekerjaan yang sesuai gelar keilmuan saya nyaris tidak ada. Karena itulah saya cukup lama menganggur. Namun, desakan untuk mencari pekerjaan itu terus muncul hingga akhirnya saya menyerah pada idealisme dan mencoba melamar pekerjaan apapun di depan mata asal saya memenuhi syarat.
      Singkat cerita, pada suatu ketika saya menemukan lowongan tenaga pengajar tetap di bimbingan belajar (bimbel) yang baru dibuka. Ugama--nama bimbel itu--memang belum pernah saya dengar sebelumnya. Namun, lantaran lokasinya hanya berjarak 1,5--2 jam perjalanan dari rumah dan saya memenuhi kriteria yang mereka butuhkan, saya tertarik melamar. Saya pun dipanggil untuk datang ke kantor cabang yang baru dibuka itu untuk melakukan sejumlah tes. Sejatinya kecurigaan sudah mulai muncul saat saya pertama datang. Bukan kantornya yang merupakan bangunan rumah sewaan yang saya pertanyakan, tetapi permintaan mereka agar saya membayar sejumlah uang untuk biaya administrasi pendaftaran yang mengherankan. Namun, sekali lagi karena desakan mencari pekerjaan, saya abaikan kecurigaan itu dan menuruti keinginan mereka. Saya anggap mereka melakukannya karena masih perusahaan kecil dan belum berkembang.
      Setelah mengikuti sejumlah tes dan dinyatakan lulus, mereka memanggil saya lagi untuk melakukan wawancara di lain hari. Ternyata, proses wawancaranya pun tidak seperti yang dilakukan perusahaan atau lembaga lain. Tak banyak pertanyaan yang dilontarkan. Wawancara itu lebih mirip presentasi. Intinya si pewawancara menjelaskan tentang seluk beluk menjadi pengajar di bimbel itu, bonus yang akan saya terima dan sebagainya. Namun, di akhir wawancara saya diwajibkan membeli 3 helai kain seragam senilai Rp1-juta jika setuju menjadi pengajar di bimbel itu. Saya pun diberi waktu 1 minggu untuk mempertimbangkan.
      Detik itu juga kecurigaan saya makin meruncing. Pasalnya, itu kali kedua mereka 'meminta' uang dan hal itu sangat tidak lazim dalam proses perekrutan karyawan. Meski hati saya berkata jangan lanjutkan, namun saya sampaikan juga hasil wawancara tadi ke kedua orangtua saya. Maklum, dengan penghasilan jauh di bawah standar mereka lah yang paling merasakan beratnya saya menganggur setelah bersusah payah mengucurkan banyak dana untuk biaya kuliah saya. Namun, dalam kondisi nyaris putus asa seperti itu bukan hal mengejutkan jika orangtua saya menyarankan saya mengambil kesempatan itu.
      Dengan berbekal uang pinjaman, saya pun datang ke kantor pusat Ugama di Jogja untuk menebus kain seragam yang dijanjikan. Di sana ada keanehan lain. Saya kesulitan menemukan kantor itu meski telah bertanya ke sejumlah orang. Ternyata, kantor bimbel itu tergabung dengan kantor lain yang dikelola lembaga yang sama (Ugama satu lembaga dengan IKMII, ASMI, ABAKOM, dan yang terbaru yaitu bimbel Golden Ways). Sosok kantornya mirip ruko tak terawat dan berdebu. Karyawan di kantor itu mengatakan saya bisa menghubungi mereka jika seragam saya sudah selesai dijahit. Hal itu lagi-lagi merupakan hal aneh mengingat mereka pada awalnya terkesan sangat butuh tenaga pengajar, tetapi kemudian seolah-olah tidak butuh dengan melontarkan pernyataan saya yang harus menghubungi mereka (tentu saja kemungkinan besar karena mereka telah berhasil menjual kain dengan nilai fantastis itu).
      Tak sampai seminggu seragam saya sudah jadi. Saya pun berusaha menghubungi mereka. Namun, sekarang saya benar-benar seperti sudah tidak dibutuhkan. Saya dilempar ke kantor cabang. Kantor cabang mengatakan belum ada keputusan dari kantor pusat. Kembali saya hubungi kantor pusat, dan saya disuruh menunggu 1 minggu untuk menghubungi mereka lagi. Ya, bukan hanya tidak memberikan keputusan, lagi-lagi saya yang disuruh menghubungi mereka. Toh saya tidak mau berputus-asa setelah mereka berhasil mendapatkan uang dari saya. Saya putuskan kembali menelepon dan akhirnya disuruh datang minggu berikutnya dengan membawa ijazah asli untuk ditunjukkan, serta seragam dan perlengkapan harian lain karena saya harus menjalani semacam karantina untuk training pengajar.
      Setiba di kantor pusat pada hari yang dijanjikan itu, hal pertama yang mereka tanyakan adalah ijazah saya. Belakangan saya bersyukur itu hal pertama yang mereka tanyakan sehingga saya tidak terus terjerumus ke lembaga itu. Begini kira-kira percakapannya:
Ms X dari pihak bimbel (saya tidak tahu persis apa posisi wanita yang mewawancarai saya itu)
            : Apakah semuanya sudah dibawa, termasuk ijazah asli?
saya     : ya, saya bawa.
Ms X   : sudah tahu juga kan kenapa diminta membawa ijazah asli?
saya     : tahu, untuk melihat keabsahannya.
Ms X   : Bukan hanya melihat, tapi kami juga akan mengecek. Kami akan bawa ke kampus Anda untuk membuktikan apakah itu asli atau palsu. Tapi tentu saja prosesnya bisa memakan 1 atau 2 bulan, atau bahkan lebih tergantung pihak kampus. Jadi untuk sementara ijazah Anda akan kami bawa, tapi kami tidak dapat memastikan kapan bisa dikembalikan.
saya      : Oo, kalau begitu tidak, terimakasih (sambil menahan amarah dan keinginan menangis karena sudah tidak ada pembelaan lagi dari diri saya bahwa saya tidak sedang kena tipu) 
Ms X    : maksudnya? (entah kenapa si Ms X terlihat agak kaget)
saya      : lebih baik saya mundur.
Ms X (masih dengan ekspresi kaget, sepertinya sadar bahwa saya sadar betul sudah tertipu)
             : tapi ingat ya, uang yang telah dibayarkan tidak dapat dikembalikan, dan jika Anda menuntut macam-macam kami sudah siap dengan pengacara kami dan pengadilan di sini pun sudah kenal dengan kami (atau semacamnya, saya lupa detail kata-katanya yang jelas intinya mereka punya pengacara yang katanya handal dan kenal atau dekat dengan pengadilan)
saya       : (sudah malas ngomong dan hanya tersenyum kecut, tapi dalam hati berteriak 'WHATEVAH'!!)
      Dan begitulah saya akhirnya berlalu dari kantor itu sambil menahan tangis namun juga bersyukur kepada Allah karena segera diberi petunjuk. Asal tahu saja, untuk melegalisir kopi ijazah di kampus, saya hanya perlu menyebutkan nama dan tahun lulus tanpa perlu membawa ijazah asli. Pihak kampus memiliki dan tentu saja menyimpan rapi daftar lulusannya. Artinya, tak perlu menunggu berbulan-bulan untuk mengecek keaslian sebuah ijazah.
      Selain itu, jika 'hanya' uang yang hilang insyaAllah bisa dicari lagi. Tetapi jika ijazah yang lenyap? Bahkan pihak kampus tempat saya menuntut ilmu tak akan mencetak ijazah pengganti, apapun alasannya. Belakangan, saya membaca pengalaman salah seorang mantan calon karyawan Ugama bahwa ia harus menebus Rp2-juta untuk mengambil ijazahnya ketika akhirnya memutuskan mundur (malangnya setelah ia menyerahkan ijazah itu).
      Sambil menunggu bus untuk pulang, ketika itu saya sempat mampir ke sebuah warung kecil dekat  kantor bimbel itu. Melihat wajah saya yang seperti sayur asam, sang penjaja pun memberanikan diri bertanya dan saya sambut dengan cerita singkat pengalaman saya. Tak disangka sang penjaja sudah tidak asing dengan kisah seperti itu. "Waduh mbak, sudah banyak lho yang ngalamin kasus kaya gitu di sini. Tempo hari ada gadis dari luar Jawa mengalami hal serupa. Seandainya saya tahu mbak dari kemarin, pasti saya bilangin," ujarnya. Tapi hikmahnya kisah itu menjadi pembelajaran bagi saya agar semoga kasus serupa tidak menimpa diri saya lagi maupun orang lain. Satu hal yang dapat dijadikan patokan, jangan percaya perusahaan yang mewajibkan kita membayar ini-itu baik sebelum maupun setelah kita diterima bekerja. Lha wong kerja kok bayar?

ilustrasi: http://earnonline.myworldmysite.com

Nb: tadi saya juga menemukan ada yang menumpahkan unek-uneknya tentang Ugama di salah satu blog. Kali ini mengenai sepak terjang lembaga itu dalam mencari peserta bimbel dan menjual buku panduan ujian bagi siswa. Berikut tulisannya.

Sehubungan dengan aktifitas Lembaga Pendidikan UGAMA di beberapa wilayah Indonesia yang banyak menjadi pertanyaan, berikut kami sampaikan beberapa fakta tentang UGAMA. Fakta-fakta ini kami susun bukan bermaksud untuk mendiskreditkan UGAMA, tetapi lebih bertujuan agar tidak terjadi pembodohan yang berkelanjutan pada pelajar di Indonesia. Kami juga tidak berharap fakta-fakta ini menjadi acuan dalam mengambil sikap terhadap aktifitas UGAMA, tetapi minimal bisa sebagai bahan referensi dalam menentukan kebijakan menyikapi aktifitas UGAMA.
1. UGAMA=UGM?
Mengidentikkan UGAMA sebagai UGM adalah “senjata” andalan Lembaga Pendidikan UGAMA agar keberadaannya bisa diterima di mana-mana. Anggapan sebagian masyarakat bahwa UGAMA adalah akronim dari Universitas Gadjah Mada (UGM di Yogyakarta) dimanfaatkan sebagai alat untuk mempermudah aktifitasnya. Kepala sekolah mana sanggup untuk menolak kehadiran Universitas Gadjah Mada untuk memberikan motivasi kepada anak didiknya, padahal ini adalah satu cara agar UGAMA bisa promosi ke siswa secara mudah. Bahkan, saat tim UGAMA meminta ijin presentasi ke sekolah, hampir selalu menyebut sebagai “alumni UGM”, di kop surat tertulis “UGAMA KELUARGA ALUMNI UNIVERSITAS GADJAH MADA” dan yang akan datang memberikan presentasi motivasi adalah tim dari Universitas Gadjah Mada
Fakta: UGAMA bukan UGM. Pemilik sekaligus pendirinya juga bukan alumni UGM, tetapi alumni IKIP Negeri Yogyakarta (sekarang UNY). Karyawan dan staf UGAMA yang alumni UGM bisa dihitung dengan jari satu tangan. UGAMA murni adalah bimbingan belajar seperti halnya Primagama, Neutron, Ganesha Operation dan sebagainya, serta sama sekali tidak ada hubungan structural maupun koordinasi dengan Universitas Gadjah Mada.
2. Pemberi Presentasi Motivasi Alumni UGM?
Saat presentasi motivasi di sekolah-sekolah, presentator selalu dikenalkan atau memperkenalkan diri sebagai alumni Universitas Gadjah Mada. Ini adalah bentuk pembohongan terkoordinasi untuk mengangkat wibawa presentator dengan memanfaatkan nama besar UGM.
Fakta: Presentator adalah tentor-tentor (pengajar) promosi Lembaga Pendidikan UGAMA. Mereka sama sekali bukan alumni UGM, bahkan mereka adalah lulusan SMA/SMK yang dilatih untuk promosi dengan melakukan presentasi di sekolah-sekolah.
3. Presentasi di Sekolah, Motivasi?
Tidak bisa dipungkiri bahwa ada unsur motivasi ke siswa saat kegiatan presentasi di sekolah. Namun, tujuan utama presentasi tersebut adalah promosi. Siswa diberikan cara-cara praktis mengerjakan soal, satu soal satu menit, kemudian pada akhirnya diarahkan untuk menerima promosi baik berupa kesempatan mengikuti bimbingan belajar gratis maupun membeli produk berupa buku-buku kumpulan pengerjaan soal dengan rumus praktis.
Fakta: Tujuan utama presentasi motivasi murni adalah promosi. Di wilayah di mana UGAMA memiliki kantor cabang (meskipun ada yang hanya sewa 1-2 bulan), maka biasanya siswa akan diberikan kesempatan mengikuti bimbingan belajar gratis yang dilaksanakan di kantor cabang UGAMA. Ujung-ujungnya, saat pelaksanaan bimbingan belajar gratis, siswa tetap diarahkan untuk mengikuti program bimbingan belajar, tentunya dengan biaya tertentu. Di tempat-tempat di mana UGAMA tidak memiliki kantor untuk pelaksanaan bimbingan belajar, maka siswa akan ditawari untuk membeli buku kumpulan soal dan pembahasan dengan rumus praktis.
4. Program Bimbingan Belajar UGAMA
Di wilayah di mana UGAMA memiliki tempat untuk melaksanakan bimbingan belajar, siswa diarahkan untuk mengikuti bimbingan belajar gratis, kemudian saat bimbingan belajar gratis tersebut ditawarkan program yang berbayar. Ini adalah salah satu trik untuk menyikapi agar tidak ada transaksi masalah uang di sekolah. Uniknya, bimbingan belajar yang dilaksanakan berbeda dari kebanyakan bimbingan belajar lainnya, yaitu hanya bimbingan belajar pendek selama 4 sampai 16 kali pertemuan dengan biaya sekitar 300.000 atau lebih termasuk modul belajar yang berisi rumus praktis.
Fakta: Bimbingan belajar pendek dimaksudkan untuk menyikapi 2 hal:
1. Sewa ruang/gedung yang digunakan untuk pelaksanaan bimbingan belajar UGAMA ada yang hanya 1-2 bulan saja. UGAMA hanya membuka kantor sementara, dan setelah itu tutup, pindah kota lain untuk melakukan kegiatan yang sama.
2. Pengajar yang tidak berkualifikasi sebagai pengajar. Seperti disampaikan di muka, tentor/pengajar UGAMA adalah lulusan SMA/SMK yang diajari untuk menyampaikan presentasi dan mengajar dengan materi yang sudah disiapkan. Dengan program pendek, tentor/pengajar yang diklaim sebagai alumni UGM masih bisa menyampaikan materi secara menarik, materi lainnya jelas tidak mereka kuasai.
5. Rumus Praktis dan Buku Rumus Praktis UGAMA
Saat presentasi di sekolah (dan juga saat bimbingan belajar gratis), siswa dikenalkan dengan cara-cara praktis logika untuk menyiasati soal, satu soal satu menit. Cara ini sebenarnya memang lazim digunakan oleh lembaga bimbingan belajar untuk menarik calon siswa. Siswa akan terkesima dengan cara pengerjaan soal yang cepat dan menarik, sehingga termotivasi untuk mempelajari lebih jauh cara-cara praktis dalam menyiasati soal, baik dengan mengikuti bimbingan belajar UGAMA maupun dengan membeli buku rumus praktis.
Fakta:
1. Soal yang dibahas saat presentasi di sekolah (dan saat bimbingan gratis) adalah soal yang dipilih atau bahkan dimodifikasi, sehingga dengan mudah bisa dikerjakan dalam waktu singkat. Meskipun ditulis/disebut sebagai soal UNAS atau SNMPTN tahun tertentu, bisa dicek di soal aslinya bahwa soal-soal tersebut adalah soal yang dimodifikasi untuk kepentingan promosi semata. Bahkan, dari tahun ke tahun UGAMA selalu menggunakan soal-soal itu saat presentasi, hanya diganti angka tahunnya saja. Presentasi menjadi sangat menarik karena penyampai presentasi dari waktu ke waktu hanya menyampaikan satu hal yang sama.
2. Menjual Buku Logic kumpulan soal dan pembahasan dengan cara cepat/rumus praktis dan logika adalah tujuan utama UGAMA, baik melalui pelaksanaan bimbingan belajar (mendapat modul yang berupa buku-buku tersebut) maupun menjual langsung ke siswa untuk belajar mandiri di rumah. Setali tiga uang dengan soal saat presentasi, sebagian besar isi buku juga merupakan soal-soal modifikasi. Dari sekian buku Logic yang diterbitkan UGAMA, hanya buku Logic Matematika SMA/SMK/MA yang memiliki nilai “lumayan”, itupun tidak bisa mewakili materi SMA/MA IPA maupun SMK non-Teknologi Industri. Isi buku Logic lainnya cenderung asal, jauh dari cara praktis maupun materi UNAS. Intinya, sangat rugi jika harus mengeluarkan uang ratusan ribu untuk membeli buku yang tidak berkualitas.
3. Untuk meningkatkan omzet penjualan buku, selalu disampaikan bahwa buku tidak bisa dan tidak boleh difotocopy. Faktanya, buku Logic terbitan UGAMA tidak mengantongi hak cipta dan tidak terdaftar ISBN. Penyusunnya juga fiktif, disusun secara kolektif dan tidak dilindungi hak atas kekayaan intelektual. Sehingga, tidak ada undang-undang yang melarang buku Logic UGAMA untuk digandakan dengan cara apapun.
Agar bisa mengetahui benar tidaknya fakta-fakta yang kami sampaikan, berikut ini kami sampaikan beberapa cara:
1. Saat tim UGAMA datang ke sekolah dan menyebut sebagai alumni UGM, tanyakan Kartu Anggota KAGAMA (Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada). Atau jika perlu, tanyakan nama rektor, dekan, lokasi UGM, fakultas-fakultas, atau apapun yang berkaitan dengan UGM. Alumni UGM sesungguhnya akan dengan mudah menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut (tim dari UGAMA yang bukan alumni UGM akan kebingungan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Bahkan lucunya, di antara mereka ada yang belum pernah masuk kampus UGM sama sekali, lokasinya saja tidak tahu)
2. Tanyakan tujuan pasti dari kegiatan presentasi di sekolah. Jika kegiatan tersebut tanpa biaya (gratis), donatur mana yang membiayai kegiatan tersebut dan apa tujuan donatur sehingga sanggup membiayai kegiatan tersebut.
3. Sebelum, saat dan setelah presentasi berlangsung, guru bidang studi Matematika bisa mengajak pemberi presentasi untuk berdiskusi panjang lebar materi Matematika. Jika perlu, guru Matematika bisa bertanya materi lain di luar materi presentasi. Sementara, guru Bahasa Inggris bisa mengajak “ngobrol” menggunakan Bahasa Inggris. Presentator dari UGAMA dijamin tidak akan menguasai, karena mereka hanya menguasai materi presentasi dan tidak lebih dari itu.
4. Sebelum pelaksanaan presentasi, pihak sekolah bisa meminta terlebih dahulu soal-soal yang akan disampaikan saat presentasi, kemudian pastikan apakah soal-soal tersebut sesuai dengan acuan kurikulum yang berlaku saat ini.
5. Jika memang tujuan utama untuk menjual buku, pihak sekolah bisa meminjam contoh buku terlebih dahulu secara lengkap (SMA/MA: Matematika, Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, Kemampuan IPA/IPS. SMK: Matematika, Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia. SMP: Matematika, Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, IPA/Sains) dan meminta waktu untuk dipelajari selama 1 atau 2 hari. Pastikan apakah isi buku sesuai dengan kurikulum yang berlaku. Pihak UGAMA biasanya akan menolak untuk menyerahkan contoh buku, karena khawatir pihak sekolah sudah tahu bahwa buku tidak berkualitas, sehingga omzet penjualan buku tidak seperti yang diharapkan.
6. Untuk memastikan tidak terjadi transaksi jual-beli buku di sekolah, pihak sekolah menunggu saat pelaksanaan presentasi hingga selesai. Jika perlu, semua guru yang mengajar pada jam tersebut diharuskan mengikuti kegiatan presentasi. Rata-rata mental presentator akan down jika ada guru yang mengikuti presentasi (karena mereka –maaf– hanya lulusan SMA/SMK/MA yang tidak menguasai materi presentasi sesungguhnya, hanya membeo)
7. Jika ingin mempelajari isi bukunya, sekolah bisa membeli cukup 1 paket buku saja, kemudian dipinjamkan ke siswa melalui perpustakaan dan jika siswa menginginkan bisa difotocopy. Pihak UGAMA biasanya tidak akan menerima cara-cara seperti itu (karena tujuan mereka untuk meningkatkan omzet penjualan buku), tetapi kami pastikan tidak ada undang-undang yang melindungi buku tersebut untuk digandakan dengan cara apapun.
Demikian fakta-fakta ini kami ungkapkan. Percaya atau tidaknya Bapak/Ibu terhadap informasi dan fakta tersebut, bukan menjadi tujuan kami. Tujuan kami semata-mata agar tidak terjadi pembodohan terhadap pelajar di Indonesia, yang notabene merupakan generasi terbaik bangsa, calon pemimpin yang akan menentukan baik dan buruknya negera Indonesia yang kita cintai.
-Komunitas Eks Karyawan dan Pengajar UGAMA-

¡Hola!

Salaam, hmm nggak sadar nih kalau ternyata saya punya akun blogger juga. Baru sadar setelah sekitar 4 tahun membuatnya hehe. So, anyway this is my first entry. Rencananya blog ini mau saya isi dengan segala macam unek-unek maupun pengalaman hidup yang menarik di mata saya. Singkatnya blog ini semacam kumpulan curhat colongan alias curcol saya. Semoga bisa menarik dan bermanfaat juga bagi yang membaca.