Senin, 20 Februari 2012

Dibalik Kesulitan, Ada Kemudahan

ilustrasi: www.iclipart.com
"Apakah kamu berniat melubangi perahu ini untuk menenggelamkan penumpangnya? Sesungguhnya kamu telah melakukan kesalahan besar," ujar Nabi Musa a.s kepada Al Khidr. Nabi Khidr pun menjawab, "Bukankah aku telah berkata bahwa kamu tidak akan bersabar bersamaku?"

Dalam petikan kisah Nabi Musa dan Nabi Khidr di atas, belakangan Nabi Musa pun tahu alasan Al Khidr melubangi perahu yang mereka tumpangi meski perahu itu milik nelayan miskin. Rupanya di daerah itu ada seorang penguasa yang gemar merampas perahu rakyatnya. Namun, jika perahu itu dirusak--dalam hal itu dilubangi--maka akan dianggap cacat dan sang penguasa enggan merampasnya. Sang nelayan miskin pun dapat tetap memiliki perahu untuk mencari nafkah lantaran kerusakan perahu itu sejatinya tidak parah dan masih dapat diperbaiki. Dengan kata lain, hal yang semula tampak meyusahkan ternyata justru memberi dampak baik.

Kekhawatiran Nabi Musa terhadap tindakan Al Khidr itu bisa jadi potret sikap kita sehari-hari ketika menghadapi cobaan yang tak dapat kita pahami. Namun, sebagai orang biasa kita seringkali tak hanya mempertanyakan, namun juga menangisi dan bahkan menyerah pada kesulitan yang kita jumpai dalam hidup. Pertanyaan-pertanyaan mendasar pun terlontar dalam benak kita "Mengapa hal ini harus terjadi?" atau "Mengapa harus saya yang mengalami?" dan sebagainya. Namun, kita jarang sekali benar-benar mencerna pertanyaan itu. Padahal jika kita benar-benar memikirkan, seringkali  kita menemukan hikmah yang indah dibalik tiap kesulitan layaknya hikmah dari kisah di atas.

Kadang kita juga cepat sekali memahami hikmah dibalik suatu kejadian, tetapi ketika suatu cobaan tak kunjung berakhir kita sulit memahaminya. Ketika hal itu terjadi barangkali kita harus lebih gigih memegang kunci pembuka hikmah. Seperti yang dikatakan Nabi Khidr, kunci mendapatkan hikmah itu adalah bersabar. Dengan bersabar insyaAllah semua yang semula tampak sempit, menyesakkan dan memberatkan hati menjadi tampak lapang, melegakan dan menyenangkan. Memang praktiknya tak semudah mengatakan. Namun, Allah berjanji bahwa di balik tiap kesulitan pasti ada kemudahan, dan janji Allah pasti benar.

Contoh kecil, beberapa bulan lalu saya pernah ditugaskan menulis suatu artikel tentang penelitian terbaru salah satu jenis buah. Pada detik-detik akhir menjelang deadline saya baru berhasil menghubungi sang peneliti. Saya pun segera membuat janji wawancara dengan sang peneliti dan ia menyanggupi. Pada hari yang telah disepakati, saya berangkat ke kantor peneliti itu. Jaraknya sekitar 3 jam perjalanan dari tempat saya bekerja. Di tengah perjalanan, saya berinisiatif mengirim pesan singkat pada sang peneliti untuk mengabarkan bahwa sekitar 1 jam lagi saya sampai lokasi. Hal itu biasa saya lakukan saat ada janji temu agar orang yang akan saya temui tak menunggu tanpa kepastian.

Beberapa saat kemudian pesan balasan pun masuk ke telepon genggam saya. Deg, jantung saya seketika berdegup kencang saat membacanya. Ternyata sang peneliti lupa dengan janjinya dan ia tengah berada di luar kota. Kepanikan sesaat pun melanda. Harap maklum, deadline sudah di depan mata dan bahan belum saya dapat. Lebih 'buruk' lagi ternyata sang narasumber tidak di tempat. Meski panik, saya berusaha tenang karena panik tak akan menyelesaikan masalah. Saya meminta sopir untuk tetap melaju ke tempat tujuan kami sambil memikirkan jalan keluar permasalahan itu.

Akhirnya saya kembali mengirim pesan pada sang peneliti--sebut saja peneliti A--untuk memberi referensi jika ada rekan atau anak buahnya yang dapat dimintai informasi tentang penelitiannya. Sayang, tidak ada peneliti lain yang terlibat dan ada di kantor ketika itu. Namun, peneliti A memberikan referensi peneliti lain--peneliti B--dengan subyek penelitian berbeda. Saya pikir daripada pulang dengan tangan hampa, lebih baik saya temui dulu peneliti yang direferensikan. Toh meski lain subyek, penelitiannya mirip. Sehingga, hasil wawancara nanti setidaknya dapat saya pakai untuk tambahan data, sementara data utama bisa saya dapatkan dari peneliti A via telepon.

Akhirnya saya menghubungi peneliti B dan alhamdulillah sang peneliti sedang berada di kantor. Yang lebih menakjubkan, setelah wawancara itu saya baru tahu bahwa riset peneliti A rupanya di luar subyek yang harus saya tulis. Sebaliknya, riset peneliti B justru sesuai dengan tema artikel saya. Ketika itulah saya sadar bahwa hal yang semula tampak seperti kemalangan ternyata justru pertolongan dari Yang Maha Pengasih.

Seandainya peneliti A tidak uzur, mungkin saya akan berangkat dengan hati riang. Namun, bagaimana setelah saya mewawancarainya dan tahu risetnya tidak relevan dengan artikel yang akan saya tulis? Saya tidak dapat membayangkan bagaimana paniknya saya ketika hal itu terjadi. Pertama saya tidak tahu apa yang harus saya katakan kepada sang peneliti bahwa waktu yang telah ia luangkan dan informasi yang ia berikan ternyata tidak saya pakai. Kedua, nyaris sudah tidak ada waktu lagi untuk melakukan wawancara dengan peneliti lain. Terlebih jika harus mencari dulu calon narasumber pengganti.

Karena itu saya benar-benar merasakan bahwa di balik kesulitan yang saya jumpai di pagi hari itu ternyata ada kemudahan dan hikmah yang begitu besar. Tentu masih banyak contoh lain dan banyak pula di antara kita yang pernah mengalami kisah yang jauh lebih mengharukan. Semoga kita dapat belajar dari pengalaman-pengalaman itu agar bisa menjadi manusia yang bersabar dan mendapat hikmah dari setiap cobaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar