Kamis, 16 Februari 2012

Ketika Surel, bukan Jejaring Sosial, Rajai Dunia Maya

ilustrasi: www.123rf.com
      Minggu lalu saya menyempatkan diri membersihkan kotak masuk surel alias mailbox saya. Sejak pertama membuat akun 12 tahun silam, saya belum pernah membersihkan total surel saya dari nawala (newsletter) maupun milis yang jumlahnya mencapai ribuan. Saya sudah berulangkali menghapus sebagian besar surat sampah atau junkmail dan sebagian nawala. Namun, ada beberapa yang saya biarkan di kotak masuk. Nah, dari kumpulan beberapa yang saya biarkan itu kini menumpuk menjadi ribuan.
      Walhasil setelah 6 jam mengelompokkan nawala ke berbagai pelipat atau folder, saya baru sadar bahwa dari nyaris 10,000 surat yang ada di kotak masuk hanya 11% yang berasal dari manusia (baca: teman, saudara maupun kolega), sisanya dikirim oleh robot. Ketika saya iseng membuka beberapa surel lama, saya pun mulai merindukan masa-masa kejayaan surel. Yang menyedihkan, rupanya sudah bertahun-tahun saya tak berkirim surel yang tidak terkait dengan pekerjaan, kepada teman maupun saudara. Jejaring sosial dan telepon genggam kini sudah menggantikan peran surel sebagai komunikator, meski sayangnya ada beberapa kekurangan yang dimiliki kedua media penghubung itu dibanding surel.
      Saat masa jayanya, tak jarang 1 orang memiliki lebih dari 2 alamat surel. Saya, misalnya, pernah memiliki akun surel di yahoo, lovemail, hotmail hingga usa.net dalam kurun waktu bersamaan. Sama seperti generasi sekarang memiliki banyak akun di berbagai jejaring sosial. Namun, berbeda dengan jejaring sosial yang dapat menampilkan status kita setiap waktu, surel--nyaris seperti surat yang dikirim lewat pos--cenderung dikirim berjangka meski tak teratur. Paling cepat sehari sekali orang berkirim surel dengan orang yang sama (kecuali jika si penerima surel kebetulan juga sedang online).
      Akibatnya, kata-kata yang diunggah dalam status jejaring sosial seringkali tidak dipikirkan matang-matang dan cenderung ego sentris.  Di jejaring sosial, kita sering membaca status yang tidak ingin atau tidak perlu kita ketahui dari orang lain. Sebagai contoh seorang teman di jejaring sosial mengunggah status "merindukannya...". Namun, kita tidak kenal dekat dengan si teman pengunggah status, lebih-lebih dengan si 'nya' yang ia maksud. Sehingga melihat sepintas atau bahkan membaca status seperti itu tak memberi masukan positif apapun dalam hidup kita. Bisa jadi kalau disejajarkan dengan surel, status semacam itu ibarat surat sampah yang masuk ke inbox. Bedanya, junkmail hampir pasti dikirim oleh orang yang sama sekali tidak kita kenal.
      Berbeda dengan jejaring sosial, isi surel cenderung lebih padat berisi. Bisa dengan bahasa serius maupun ringan, bisa konyol maupun informatif, bisa pula sangat panjang atau sangat singkat. Namun, jarang sekali bersifat ego sentris. Sebuah surel lebih sering berisi dan diawali kata-kata seperti ini, "apa kabar?", "sedang sibuk apa sekarang?", atau "aku pengen curhat nih sama kamu, boleh kan?". Bahkan ketika sedang ingin menumpahkan perasaannya ketika si penerima surel tidak menanyakan atau meminta, si pengirim merasa perlu menambahkan kata-kata semisal "boleh kan" sebagai afirmasi bahwa si penerima tidak akan keberatan dengan hal itu. Sehingga, kesan ego sentris pun hilang.
      Surel pun jarang kita baca saat sedang berkumpul dengan teman, di perjalanan, atau sedang ada pertemuan. Sebaliknya, kita tak mengenal waktu dan tempat dalam mengunggah dan mengomentari status di jejaring sosial. Sering kita jumpai di masa sekarang, sekelompok orang yang saling berteman dan duduk di satu meja tetapi saling sibuk sendiri dengan telepon genggam dan akun jejaring sosialnya. Tidakkah ironis ketika jejaring sosial justru membuat kita antisosial?
      Hal yang juga tidak saya dapatkan di jejaring sosial adalah kerinduan dengan teman yang sudah ada di lingkaran jejaring kita. Beberapa tahun silam, sebagian besar kenalan baru saya merupakan hasil chatting di dunia maya. Meski hanya ngobrol sekali atau dua di situs obrolan gratis, namun pertemanan pun berlanjut dengan berkirim sapa lewat surel. Dengan surel saya memang tidak tahu kondisi mereka setiap saat seperti jika menggunakan jejaring sosial, tapi saya tahu saat-saat penting bagi mereka. Selain itu, lantaran surel tidak dikirim setiap saat, saya juga cenderung merasa rindu ketika mereka tidak berkirim surat dan bahagia saat mendapat surat dari mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar