|
ilustrasi: http://ulife.vpul.upenn.edu |
Kejadian ini saya alami sekitar 6 tahun silam tepatnya pada 2006. Namun, kenangan pahit itu tiba-tiba muncul kembali ketika saya menemukan artikel sejenis di beberapa blog baru-baru ini. Yang membuat saya gemas, ternyata banyak orang mengalami kasus serupa dengan perusahaan atau lembaga yang sama. Namun yang mengherankan, lembaga itu masih terus beroperasi hingga sekarang bahkan terus melebarkan sayapnya ke berbagai daerah di Indonesia.
Anyway, kejadiannya bermula ketika saya sudah setahun menganggur setelah lulus kuliah. Ketika itu saya tidak ingin mencari pekerjaan di luar 'kampung halaman'. Saya tidak bercita-cita hidup di kota besar, sehingga memilih mencari lowongan di sekitar kabupaten tempat saya tinggal di Jawa Tengah. Sayangnya, di kota kecil seperti itu pekerjaan yang sesuai gelar keilmuan saya nyaris tidak ada. Karena itulah saya cukup lama menganggur. Namun, desakan untuk mencari pekerjaan itu terus muncul hingga akhirnya saya menyerah pada idealisme dan mencoba melamar pekerjaan apapun di depan mata asal saya memenuhi syarat.
Singkat cerita, pada suatu ketika saya menemukan lowongan tenaga pengajar tetap di bimbingan belajar (bimbel) yang baru dibuka. Ugama--nama bimbel itu--memang belum pernah saya dengar sebelumnya. Namun, lantaran lokasinya hanya berjarak 1,5--2 jam perjalanan dari rumah dan saya memenuhi kriteria yang mereka butuhkan, saya tertarik melamar. Saya pun dipanggil untuk datang ke kantor cabang yang baru dibuka itu untuk melakukan sejumlah tes. Sejatinya kecurigaan sudah mulai muncul saat saya pertama datang. Bukan kantornya yang merupakan bangunan rumah sewaan yang saya pertanyakan, tetapi permintaan mereka agar saya membayar sejumlah uang untuk biaya administrasi pendaftaran yang mengherankan. Namun, sekali lagi karena desakan mencari pekerjaan, saya abaikan kecurigaan itu dan menuruti keinginan mereka. Saya anggap mereka melakukannya karena masih perusahaan kecil dan belum berkembang.
Setelah mengikuti sejumlah tes dan dinyatakan lulus, mereka memanggil saya lagi untuk melakukan wawancara di lain hari. Ternyata, proses wawancaranya pun tidak seperti yang dilakukan perusahaan atau lembaga lain. Tak banyak pertanyaan yang dilontarkan. Wawancara itu lebih mirip presentasi. Intinya si pewawancara menjelaskan tentang seluk beluk menjadi pengajar di bimbel itu, bonus yang akan saya terima dan sebagainya. Namun, di akhir wawancara saya diwajibkan membeli 3 helai kain seragam senilai Rp1-juta jika setuju menjadi pengajar di bimbel itu. Saya pun diberi waktu 1 minggu untuk mempertimbangkan.
Detik itu juga kecurigaan saya makin meruncing. Pasalnya, itu kali kedua mereka 'meminta' uang dan hal itu sangat tidak lazim dalam proses perekrutan karyawan. Meski hati saya berkata jangan lanjutkan, namun saya sampaikan juga hasil wawancara tadi ke kedua orangtua saya. Maklum, dengan penghasilan jauh di bawah standar mereka lah yang paling merasakan beratnya saya menganggur setelah bersusah payah mengucurkan banyak dana untuk biaya kuliah saya. Namun, dalam kondisi nyaris putus asa seperti itu bukan hal mengejutkan jika orangtua saya menyarankan saya mengambil kesempatan itu.
Dengan berbekal uang pinjaman, saya pun datang ke kantor pusat Ugama di Jogja untuk menebus kain seragam yang dijanjikan. Di sana ada keanehan lain. Saya kesulitan menemukan kantor itu meski telah bertanya ke sejumlah orang. Ternyata, kantor bimbel itu tergabung dengan kantor lain yang dikelola lembaga yang sama (Ugama satu lembaga dengan IKMII, ASMI, ABAKOM, dan yang terbaru yaitu bimbel Golden Ways). Sosok kantornya mirip ruko tak terawat dan berdebu. Karyawan di kantor itu mengatakan saya bisa menghubungi mereka jika seragam saya sudah selesai dijahit. Hal itu lagi-lagi merupakan hal aneh mengingat mereka pada awalnya terkesan sangat butuh tenaga pengajar, tetapi kemudian seolah-olah tidak butuh dengan melontarkan pernyataan saya yang harus menghubungi mereka (tentu saja kemungkinan besar karena mereka telah berhasil menjual kain dengan nilai fantastis itu).
Tak sampai seminggu seragam saya sudah jadi. Saya pun berusaha menghubungi mereka. Namun, sekarang saya benar-benar seperti sudah tidak dibutuhkan. Saya dilempar ke kantor cabang. Kantor cabang mengatakan belum ada keputusan dari kantor pusat. Kembali saya hubungi kantor pusat, dan saya disuruh menunggu 1 minggu untuk menghubungi mereka lagi. Ya, bukan hanya tidak memberikan keputusan, lagi-lagi saya yang disuruh menghubungi mereka. Toh saya tidak mau berputus-asa setelah mereka berhasil mendapatkan uang dari saya. Saya putuskan kembali menelepon dan akhirnya disuruh datang minggu berikutnya dengan membawa ijazah asli untuk ditunjukkan, serta seragam dan perlengkapan harian lain karena saya harus menjalani semacam karantina untuk
training pengajar.
Setiba di kantor pusat pada hari yang dijanjikan itu, hal pertama yang mereka tanyakan adalah ijazah saya. Belakangan saya bersyukur itu hal pertama yang mereka tanyakan sehingga saya tidak terus terjerumus ke lembaga itu. Begini kira-kira percakapannya:
Ms X dari pihak bimbel (saya tidak tahu persis apa posisi wanita yang mewawancarai saya itu)
: Apakah semuanya sudah dibawa, termasuk ijazah asli?
saya : ya, saya bawa.
Ms X : sudah tahu juga
kan kenapa diminta membawa ijazah asli?
saya : tahu, untuk melihat keabsahannya.
Ms X : Bukan hanya melihat, tapi kami juga akan mengecek. Kami akan bawa ke kampus Anda untuk membuktikan apakah itu asli atau palsu. Tapi tentu saja prosesnya bisa memakan 1 atau 2 bulan, atau bahkan lebih tergantung pihak kampus. Jadi untuk sementara ijazah Anda akan kami bawa, tapi kami tidak dapat memastikan kapan bisa dikembalikan.
saya : Oo, kalau begitu tidak, terimakasih (sambil menahan amarah dan keinginan menangis karena sudah tidak ada pembelaan lagi dari diri saya bahwa saya tidak sedang kena tipu)
Ms X : maksudnya? (entah kenapa si Ms X terlihat agak kaget)
saya : lebih baik saya mundur.
Ms X (masih dengan ekspresi kaget, sepertinya sadar bahwa saya sadar betul sudah tertipu)
: tapi ingat ya, uang yang telah dibayarkan tidak dapat dikembalikan, dan jika Anda menuntut macam-macam kami sudah siap dengan pengacara kami dan pengadilan di sini pun sudah kenal dengan kami (atau semacamnya, saya lupa detail kata-katanya yang jelas intinya mereka punya pengacara yang katanya handal dan kenal atau dekat dengan pengadilan)
saya : (sudah malas
ngomong dan hanya tersenyum kecut, tapi dalam hati berteriak '
WHATEVAH'!!)
Dan begitulah saya akhirnya berlalu dari kantor itu sambil menahan tangis namun juga bersyukur kepada Allah karena segera diberi petunjuk. Asal tahu saja, untuk melegalisir kopi ijazah di kampus, saya hanya perlu menyebutkan nama dan tahun lulus tanpa perlu membawa ijazah asli. Pihak kampus memiliki dan tentu saja menyimpan rapi daftar lulusannya. Artinya, tak perlu menunggu berbulan-bulan untuk mengecek keaslian sebuah ijazah.
Selain itu, jika 'hanya' uang yang hilang insyaAllah bisa dicari lagi. Tetapi jika ijazah yang lenyap? Bahkan pihak kampus tempat saya menuntut ilmu tak akan mencetak ijazah pengganti, apapun alasannya. Belakangan, saya membaca pengalaman salah seorang mantan calon karyawan Ugama bahwa ia harus menebus Rp2-juta untuk mengambil ijazahnya ketika akhirnya memutuskan mundur (malangnya setelah ia menyerahkan ijazah itu).
Sambil menunggu bus untuk pulang, ketika itu saya sempat mampir ke sebuah warung kecil dekat kantor bimbel itu. Melihat wajah saya yang seperti sayur asam, sang penjaja pun memberanikan diri bertanya dan saya sambut dengan cerita singkat pengalaman saya. Tak disangka sang penjaja sudah tidak asing dengan kisah seperti itu. "Waduh mbak, sudah banyak lho yang
ngalamin kasus
kaya gitu di sini. Tempo hari ada gadis dari luar Jawa mengalami hal serupa. Seandainya saya tahu mbak dari kemarin, pasti saya
bilangin," ujarnya. Tapi hikmahnya kisah itu menjadi pembelajaran bagi saya agar semoga kasus serupa tidak menimpa diri saya lagi maupun orang lain. Satu hal yang dapat dijadikan patokan, jangan percaya perusahaan yang mewajibkan kita membayar ini-itu baik sebelum maupun setelah kita diterima bekerja.
Lha wong kerja kok bayar?
|
ilustrasi: http://earnonline.myworldmysite.com |
Nb: tadi saya juga menemukan ada yang menumpahkan unek-uneknya tentang Ugama di salah satu blog. Kali ini mengenai sepak terjang lembaga itu dalam mencari peserta bimbel dan menjual buku panduan ujian bagi siswa. Berikut tulisannya.
1. UGAMA=UGM?
Mengidentikkan UGAMA sebagai UGM adalah “senjata” andalan Lembaga Pendidikan UGAMA agar keberadaannya bisa diterima di mana-mana. Anggapan sebagian masyarakat bahwa UGAMA adalah akronim dari Universitas Gadjah Mada (UGM di Yogyakarta) dimanfaatkan sebagai alat untuk mempermudah aktifitasnya. Kepala sekolah mana sanggup untuk menolak kehadiran Universitas Gadjah Mada untuk memberikan motivasi kepada anak didiknya, padahal ini adalah satu cara agar UGAMA bisa promosi ke siswa secara mudah. Bahkan, saat tim UGAMA meminta ijin presentasi ke sekolah, hampir selalu menyebut sebagai “alumni UGM”, di kop surat tertulis “UGAMA KELUARGA ALUMNI UNIVERSITAS GADJAH MADA” dan yang akan datang memberikan presentasi motivasi adalah tim dari Universitas Gadjah Mada
Saat presentasi motivasi di sekolah-sekolah, presentator selalu dikenalkan atau memperkenalkan diri sebagai alumni Universitas Gadjah Mada. Ini adalah bentuk pembohongan terkoordinasi untuk mengangkat wibawa presentator dengan memanfaatkan nama besar UGM.
Tidak bisa dipungkiri bahwa ada unsur motivasi ke siswa saat kegiatan presentasi di sekolah. Namun, tujuan utama presentasi tersebut adalah promosi. Siswa diberikan cara-cara praktis mengerjakan soal, satu soal satu menit, kemudian pada akhirnya diarahkan untuk menerima promosi baik berupa kesempatan mengikuti bimbingan belajar gratis maupun membeli produk berupa buku-buku kumpulan pengerjaan soal dengan rumus praktis.
Di wilayah di mana UGAMA memiliki tempat untuk melaksanakan bimbingan belajar, siswa diarahkan untuk mengikuti bimbingan belajar gratis, kemudian saat bimbingan belajar gratis tersebut ditawarkan program yang berbayar. Ini adalah salah satu trik untuk menyikapi agar tidak ada transaksi masalah uang di sekolah. Uniknya, bimbingan belajar yang dilaksanakan berbeda dari kebanyakan bimbingan belajar lainnya, yaitu hanya bimbingan belajar pendek selama 4 sampai 16 kali pertemuan dengan biaya sekitar 300.000 atau lebih termasuk modul belajar yang berisi rumus praktis.
Saat presentasi di sekolah (dan juga saat bimbingan belajar gratis), siswa dikenalkan dengan cara-cara praktis logika untuk menyiasati soal, satu soal satu menit. Cara ini sebenarnya memang lazim digunakan oleh lembaga bimbingan belajar untuk menarik calon siswa. Siswa akan terkesima dengan cara pengerjaan soal yang cepat dan menarik, sehingga termotivasi untuk mempelajari lebih jauh cara-cara praktis dalam menyiasati soal, baik dengan mengikuti bimbingan belajar UGAMA maupun dengan membeli buku rumus praktis.
1. Saat tim UGAMA datang ke sekolah dan menyebut sebagai alumni UGM, tanyakan Kartu Anggota KAGAMA (Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada). Atau jika perlu, tanyakan nama rektor, dekan, lokasi UGM, fakultas-fakultas, atau apapun yang berkaitan dengan UGM. Alumni UGM sesungguhnya akan dengan mudah menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut (tim dari UGAMA yang bukan alumni UGM akan kebingungan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Bahkan lucunya, di antara mereka ada yang belum pernah masuk kampus UGM sama sekali, lokasinya saja tidak tahu)
2. Tanyakan tujuan pasti dari kegiatan presentasi di sekolah. Jika kegiatan tersebut tanpa biaya (gratis), donatur mana yang membiayai kegiatan tersebut dan apa tujuan donatur sehingga sanggup membiayai kegiatan tersebut.
3. Sebelum, saat dan setelah presentasi berlangsung, guru bidang studi Matematika bisa mengajak pemberi presentasi untuk berdiskusi panjang lebar materi Matematika. Jika perlu, guru Matematika bisa bertanya materi lain di luar materi presentasi. Sementara, guru Bahasa Inggris bisa mengajak “ngobrol” menggunakan Bahasa Inggris. Presentator dari UGAMA dijamin tidak akan menguasai, karena mereka hanya menguasai materi presentasi dan tidak lebih dari itu.
4. Sebelum pelaksanaan presentasi, pihak sekolah bisa meminta terlebih dahulu soal-soal yang akan disampaikan saat presentasi, kemudian pastikan apakah soal-soal tersebut sesuai dengan acuan kurikulum yang berlaku saat ini.
5. Jika memang tujuan utama untuk menjual buku, pihak sekolah bisa meminjam contoh buku terlebih dahulu secara lengkap (SMA/MA: Matematika, Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, Kemampuan IPA/IPS. SMK: Matematika, Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia. SMP: Matematika, Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, IPA/Sains) dan meminta waktu untuk dipelajari selama 1 atau 2 hari. Pastikan apakah isi buku sesuai dengan kurikulum yang berlaku. Pihak UGAMA biasanya akan menolak untuk menyerahkan contoh buku, karena khawatir pihak sekolah sudah tahu bahwa buku tidak berkualitas, sehingga omzet penjualan buku tidak seperti yang diharapkan.
6. Untuk memastikan tidak terjadi transaksi jual-beli buku di sekolah, pihak sekolah menunggu saat pelaksanaan presentasi hingga selesai. Jika perlu, semua guru yang mengajar pada jam tersebut diharuskan mengikuti kegiatan presentasi. Rata-rata mental presentator akan down jika ada guru yang mengikuti presentasi (karena mereka –maaf– hanya lulusan SMA/SMK/MA yang tidak menguasai materi presentasi sesungguhnya, hanya membeo)
7. Jika ingin mempelajari isi bukunya, sekolah bisa membeli cukup 1 paket buku saja, kemudian dipinjamkan ke siswa melalui perpustakaan dan jika siswa menginginkan bisa difotocopy. Pihak UGAMA biasanya tidak akan menerima cara-cara seperti itu (karena tujuan mereka untuk meningkatkan omzet penjualan buku), tetapi kami pastikan tidak ada undang-undang yang melindungi buku tersebut untuk digandakan dengan cara apapun.
Demikian fakta-fakta ini kami ungkapkan. Percaya atau tidaknya Bapak/Ibu terhadap informasi dan fakta tersebut, bukan menjadi tujuan kami. Tujuan kami semata-mata agar tidak terjadi pembodohan terhadap pelajar di Indonesia, yang notabene merupakan generasi terbaik bangsa, calon pemimpin yang akan menentukan baik dan buruknya negera Indonesia yang kita cintai.
-Komunitas Eks Karyawan dan Pengajar UGAMA-